ILMU KALAM MASA KINI: HARUN
NASUTION, DAN ISMAIL FARUQI
A. HARUN NASUTION
1. Riwayat Hidup Harun Nasution
Harun
Nasution lahir pada hari selasa 23 september 1919 di sumatera. Ayahnya, Abdul
Jabar Ahmad, adalah seorang ulama, hakim dan seorang penghulu. Pendidikan
formalnya dimulai disekolah belanda HIS. Setelah tujuh tahun di HIS, ia
meneruskan ke MIK (Modern Islamietische kweekschool) di Bukittinggi pada tahun
1934. Pendidikannya lalu diteruskan ke Universitas Al-azhar, Mesir. Sambil
kuliah di Al-Azhar,ia kuliah pula di Universitas Amerika di Mesir.
Pendidikannya lalu dilanjutkan ke Mc. Gill,Kanada, pada tahun 1962.[1]
Setiba ditanah air pada tahun 1969,
Harun Nasution langsung mencempungkan diri dalam bidang akademis dengan menjadi
dosen pada IAIN Jakarta, dan kemudian juga pada Universita Nasional. Kegiatan
akademis dirangkapnya dengan kegiatan administrasi (tetapi tetap dalam rangka
akademis) ketika ia memimpin IAIN, ketua lembaga pembinaan pendidikan agama
IKIP Jakarta, dan terakhir memimpan Fakultas pasca sarjana IAIN Jakarta.dengan
berbekal Ph.D. yang diraihnya pada tahun 1968 di McGill University, ia pun
mempunyai bekal yang berbeda dari pakar sebelimnya di Indonesia tentang studi
islam. Perbedaan latar belakang ini agaknya perlu diperhatikan.
Harun Nasution adalah figur sentral
dalam semacam jaringan intelektual yang terbentuk di kawasan IAIN ciputat
semenjak paruh kedua dasawarsa 70-an. Sentralitas Harun Nasution di dalam
jaringan ini tentu saja banyak ditopang oleh kapasitas intelektualnya, dan
kemudian oleh kedudukan formalnya sebagai rektor sekaligus salah seorang
pengajar di IAIN. Dalam kapasitas terakhir ini, ia memegang beberapa mata kuliah
terutama menyangkut sejarah perkembangan pemikiran yang terbukti menjadi salah
satu sarana awal menuju pembentukan jaringan antara Harun Nasution dan
mahasiswa-mahasiswanya.
2. Pemikiran Kalam Harun Nasution
a.
Peranan akal
Bukankah secara kebetulan bila Harun
Nasution memilih problematika akal dalam sistem Muhammad Abduh sebagai bahan
kajian disertasinya di Universitas McGill, Montreal, Kanada. Besar kecilnya
peranan dalam sistem teologi suatu aliran sangat menentukan dinamis atau
tidaknya pemahaman seseorang tentang ajaran islam. Berkenaan dengan akal ini,
Harun Nasution menulis demikian, “Akal melambangkan kekuatan manusia. Karena
akallah, manusia mempunyai kesanggupan untuk menaklukkan kekuatan makhluk lain
disekitarnya. Bertambah tinggi akal manusia, bertambah tinggilah kesanggupannya
menghadapi kekuatan-kekuatan lain tersebut.”[2]
Tema islam agama rasional dan
dinamis sangat kuat bergema dalam tulisan-tulisan Harun Nasution, terutama
dalam buku Akal dan Wahyu dalam
islam,Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan, dan Muhammad
Abduh dan Teologi Raasional Muhammad Abduh.
Dalam ajaran islam, akal mempunyai
kedudukan tinggi dan banyak dipakai, bukan dalam perkembangan ilmu pengetahuan
dan kebudayaan saja,tetapi juga dalam perkembangan ajaran-ajaran keagamaan
islam sendiri. Pemakaian akal dalam islam diperintahkan Al-Qur’an sendiri.
Bukanlah tidak ada dasarnya kalau ada penulis-penulis, baik dikalangan islam
sendiri maupun dikalangan non-islam, yang berpendapat bahwa islam adalah agama rasional.[3]
b. Pembaharuan teologi
Pembaharuan teologi, yang menjadi
predikat Harun Nasution, pada dasarnya dibangun di atas asumsi bahwa
keterbelakangan dan kemunduran umat islam adalah disebabkan “ada yang salah”
dalam teologi mereka. Pandangan ini serupa dengan pandangan kaum modernis lain
pendahulunya yang memandang perlu untuk kembali kepada teologi islam yang
sejati. Retorika ini mengandung pengertian bahwa umat islam dengan teologi
fatalistik, irasional, pre-determinisme serta penyerahan nasib telah membawa
nasib mereka menuju kesengsaraan dan keterbelakangan. Dengan demikian, jika
hendak mengubah nasib umat islam, menurut Harun Nasution, umat islam hendaklah
mengubah teologi mereka menuju teologi yang berwatak free-will,
rasional, serta mandiri. Tidak heran jika teori modernisasi ini selanjutnya
menemukan teologi dalam khasanah islam klasik sendiri yakni teologi mu”tazilah.[4]
c.Hubungan akal dan wahyu
Salah satu fokus pemikiran Harun
Nasution adalah hubungan antara akal dan wahyu. Ia menjelaskan bahwa hubungan
wahyu dan akal memang menimbulkan pertanyaan, tetapi keduanya tidak
bertentangan. Akal mempunyai kedudukan yang tinggi dalam al-qur”an. Orang yang
beriman tidak perlu menerima bahwa wahyu sudah mengandung segala-galanya .
wahyu bahkan tidak menjelaskan semua permasalahan keagamaan.
Dalam pemikiran islam, baik dibidang
filsafat dan ilmu kalam, apalagi dibidang ilmu fiqih, akal tidak pernah
membatalkan wahyu. Akal tetap tetap tunduk kepada teks wahyu. Teks wahyu tetap
dianggap benar. Akal dipakai untuk memahami teks wahyu dan tidak untuk
menentang wahyu. Akal hanya memberi interpretasi terhadap teks wahyu dengan kecenderungan dan kesanggupan pemberi
interpretai. Yang dipertentangkan dalam sejarah pemikiran islam sebenarnya
bukan akal dengan wahyu, tetapi penafsiran tertentu dari teks wahyu dengan
penafsiran lain dari teks wahyu iti juga. Jadi, yang bertentangan sebenarnya
dalam islam adalah pendapat akal ulama tertentu dengan pendapat akal ulama
lain.[5]
B. ISMAIL FARUQI
1. Riwayat Singkat Ismail al Faruqi[6]
Ismail Raji al-Faruqi lahir di Jaffa, Palestina pada tanggal
1 Januari 1921. Pada tahun 1926-1936 bersekolah di Colleges des Freres yang
terletak di Libanon. Kemudian pada tahun 1941 lulus dari American University of
Beirut.Ismail lalu bekerja untuk pemerintah Inggris di Palestina. Pada tahun
1945, dia dipilih sebagai Gubernur Galilea. Tapi, setelah Israel mencaplok
Palestina, ia pindah ke Amerika Serikat.Di Amerika, ia melanjutkan pendidikan
Master dalam bidang filsafat di University of Indiana dan University of
Harvard.Dia melanjutkan pendidikannya dengan mengambil gelar doktor filsafat di
University of Indiana dan di Al-Azhar University pada tahun 1952.Dia kemudian
mengajar beberapa universitas diseluruh dunia diantaranya universitas di
Kanada, Pakistan dan Amerika Seirkat. Pada tahun 1968, dia menjadi guru besar
Studi Islam di Temple University, Amerika Serikat.Sebagai anak Palestina,
al-Faruqi mengecam keras apa yang telah dilakukan oleh Zionis Israel yang
menjadi dalang pencaplokan Palestina. Namun, ia dengan tegas membedakan
Zionisme dan Yahudi. Dalam buku Islam and Zionism, ia berkata bahwa Islam
adalah agama yang menganggap agama Yahudi sebagai agama tuhan, yang ditentang
Islam adalah politik Zionisme.Pembunuhan atas dirinya dan istrinya diduga
karena kritiknya yang keras terhadap kaum Zionis Yahudi. Ismail Raji al-Faruqi
meninggal dunia karena dibunuh pada tanggal 27 Mei 1986 di rumahnya.
2. Pemikiran Kalam Ismail al Faruqi
Pemikiran kalam Ismail al Faruqi tertuang dalam karyanya
yang berjudul Tauhid. Dalam karyanya ini beliau ini mengungkapkan bahwa
syahadat menempati posisi sentral dalam kehidupan manusia baik dalam setiap
kedudukan, tindakan, dan pemikiran setiap muslim. Tauhid merupakan pandangan
umum , Dalam menyoroti tentang tauhid sebagai prinsip ummat, al Faruqi
membaginya kedalam tiga identitas, yakni: pertama, menenentang
etnisentrisme yakni tata sosial Islam adalah universal mencakup seluruh ummat
manusia tanpa kecuali dan tidak hanya untuk segelitir suku tertentu. Kedua,
universalisme yakni Islam meliputi seluruh ummat manusia yang cita-cita
tersebut diungkapkan dalam ummat dunia. Ketiga totalisme, yakni Islam relevan
dengan setiap bidang kegiuatan hidup manusia dalam artian Islam tidak hanya
menyangkut aktivitas mnusia dan tujuan di masa mereka saja tetapi menyangkut
aktivitas manusia disetiap masa dan tempat. Dalam hal kesenian, beliau
tidak menentang kretaivitas manusia, tidak juga menentang kenikmatan dan
keindahan. Menurutnya Islam menganggap bahwa keindahan mutlak hanya ada dalam
diri Tuhandan dalam kehendak-Nya yang diwahyukan dalam firman-firman-Nya.
Pada masa hayatnya, Al-Faruqi pemah memegang jabatan
penting dalam
kapasitasnya
sebagai ilmuan. Diantaranya adalah kepala studi keislaman di Temple University,
AS; Direktur Institut Islam di University Chicago; Direktur Institut Intemasional
pemikir Islam do Washington; dan presiden Institu studi Lanjutan Washington.[7]
Semangat kritik ilmiahnya dan kecakapan dalam bidang
keilmuan membuat Al-Faruqi mengemukakan ide perlunya mengislamkan ilmu-ilmu
sosial kontemporer. Untuk mencapai tujuan ini ia mendirikan Himpunan Ilmuan
Sosial Muslim (The Assosiation of muslim Social Scientists). Ia menjadi presiden
yang pertama pada tahun 1972 hingga 1978.
Al-Faruqi juga berperan penting dalam pembentukan
lembaga Internaional
(The
Intemasional Institute if Islamic Thought). Kedua lembaga tersebut secara bersama-sama
menerbitkan jurnal American Journal of Islamic Social Sciences. Tetapi sangat
disayangkan aktifitas Al-Faruqi dan kepiawaiannya harus berakhir dengan
peristiwa yang sangat tragis, ia meningggal dunia pada tahun 1986 bersama
istrinya Lamiya Al-Faruqi dalam peristiwa pembunuhan secara brutal oleh orang yang
tak dikenal, di rumah mereka Wyncote, Philadelphia. Misteri pembunuhan itu
berkaitan erat dengan kecamannya terhadap zionisme Israel serta
dukungannya
kepada rakyat Palestina yang merupakan tanah airnya. Di lain pihak
ada
kelompok menilai bahwa kematian Al-Faruqi adalah salah satu korban dari teori 19,
sebagaimana yang dikemukakan oleh Kahlifah antara lain menulis:
"Ismail AI-Faruqi telah mencurahkan
hidupnya untuk melawan Tuhan, Nabiulah Muhammad SA W dan mukjizat Tuhan yang
datang pada kita melalui Muhammad, setelah sepuluh tahun menolak untuk
menyokong kebenaran dan mendukung "mukjizat matematika" AI-Qur'an
akhirnya Al-Faruqi menerima hukum dan balasannya, ini keputusan Tuhan bukan keputusan
kita, di hari kemudian nanti dia akan menerima hukuman yang jauh lebih butut
dan abadi”
3.
Karya-karya AI-Faruqi
Al.-Faruqi adalah ilmuan yang produktif. Ia berhasil
menulis lebih dua puluhbuku dan seratus artikel. Diantara bukunya yang
terpenting adalah: Tauhid :its Imlications for Thought and file (1982). Buku ini
mengupas tentang tauhid secara lengkap. Tauhid tidak hanya dipandang sebagai
ungkapan lisan bahkan lebih dari itu, tauhid dikaitkan dengan seluruh aspek
kehidupan manusia, baik itu
segi
politik, sosial, dan budaya. Dari inilah kita dapat melihat titik tolak
pemikiran Al-Faruqi yang berplikasi pada pemikirannya dalam bidang-bidang lain.
Dalam buku Islamization of Knowledge: General Principle and Workplan (1982),
walaupun ukurannya sangat sederhana, namun menampilkan pikiran yang cemerlang
dan kaya, serta patut dijadikan rujukan penting dalam masalah Islamisasi ilmu
pengetahuan, didalamnya terangkum langkah-langkah apa yang harus ditempuh dalam
proses islamisasi tersebut.
Karyanya yang berhubungan dengan ilmu perbandingan
agama cukup banyak, hal ini dapat dimaklumi karena ia sendiri adalah orang yang
ahli dalam perbandingan agama. Walaupun ia diargumentasikan tak cukup
"sukses" sebagai ahli perbandingan agama. Berbagai karya dalam bidang
ini menunjukkan ia kelewat "terbakar" oleh Islam untuk
mengaprisiasikan agama-agama lain. Ia lebih
mengambil
posisi sebagai pendebat dan missionaris eguh yang membela dan mendakwakan
Islam. Bukunya yang secara khusus membahas perbandingan agama adalah Cristian
Ethics, Triolouge of Abraham Faits pada buku ini terdapat tiga topik utama:
Tiga agama saling memandang. Konsep tiga agama tentang negara dan bangsa,
konsep tiga agam tentang keadilan dan perdamaian, masing-masing penyumbang dari
Yahudi, Kristen dan Islam menawarkan prespektif yang jelas mengenai pokok
persoalan berdasarkan tiga topik utama tersebut. Buku ini
merupakan
sebuah langkah baru perbandingan agama yang dapat membuka jalan
bagi
pemikiran an diskusi masa depan, serta buku Historical Atlas of the Region of the
World. Dan karyanya yang dianggap monumental adalah Cultural Atlas Islam, karya
ini ditulis bersama istrinya, Louis lamiya AI-Faruqi, dan diterbitkan tak lama
setelah keduanya meninggal.
4.
Pokok-Pokok Pemikiran AI-Faruqi
Al-Faruqi banyak mengemukakan gagasan serta
pemikiran yang berhubungan Dengan masalah-masalah yang dihadapi oleh Umat
Islam. Dan semua pemikirannya itu saling terkait satu sama lain, semuanya
berporos pada satu sumbu yaitu Tauhid.
Diantaranya
pemikiran Al-Faruqi yang terpenting adalah:
A.
Tauhid
Masalah yang terpenting dan menjadi tema sentral
pemikiran Islam adalah
pemurnian
tauhid, karena nilai dari keislaman seseorang itu adalah pengesahan
terhadap
Allah SWT yang terangkum dalam syahadat. Upaya pemumian tauhid
inipun
telah banyak dilakukan oleh para ulama terdahulu, diantaranya kita mengenal adanya
gerakan wahabiyah yang dipimpin oleh Muhammad bin abdul Wahab.
Menurutnya kalimat "tauhid" tersebut
mengandung dua arti yang pertama "nafi" (negatit) dan kedua: itsbat
(positif) laa ilaaha (tiada Tuhan yang berhak diibadahi) berarti tidak ada
apapun; illaahi (melainkan Allah) berarti yang benar dan berhak diibadahi
hanyalah Allah Yang Maha Esa yang tidak ada sekutu bagiNya dan secara gamlang
di dalam bukunya Kitab At-tauhid beliau menyebutkan setiap tahyul. Setiap bentuk
sihir, melibatkan pelaku atau pemanfaatannya dalam syirik adalah pelanggaran
tauhid.[8]
Tetapi tauhid bukan sekedar diakui dengan lidah dan
ikrar akan keesaan Allah serta kenabian Muhammad SAW. Walaupun ikrar dan
syahadat oleh seorang muslim mengkonsekuensikan sejumlah aturan hukum di dunia
ini, namun tauhid yang merupakan sumber kebahagiaan abadi manusia dan
kesempurnaanya, tidak berhenti pada kata-kata dan lisan. Lebih dari itu tauhid
juga harus merupakan suatu realitas batin dan keimanan yang berkembang di dalam
hati. Tauhid juga merupakan prinsip mendasar dari seluruh aspek hidup manusia
sebagaimana yang dikemukakan bahwa pernyataan tentang kebenaran universal
tentang pencipta dan pelindung alam semesta.
B.
Islamisasi llmu Pengetahuan
Pada hakekatnya ide Islamization of knowledge ini
tidak bisa dipisahkan dari pemikiran Islam di zaman moderen ini. Ide tersebut
telah diproklamirkan sejak tahun 1981, yang sebelumnya sempat digulirkan di
Mekkah sekitar tahun 1970-an.
Ungkapan Islamisasi ilmu pengatahuan pada awalnya
dicetuskan oleh Syed Muhammad Naguib Al-Atas pada tabun 1397 H/1977 M yang
menurutnya adalah "desekuralisasi ilmu". Sebelumnya Al-Faruqi
mengintrodisir suatu tulisan mengenai Islamisasi ilm-ilmu sosial. Meskipun
demikian, gagasan ilmu keislaman telah muncul sebelumnya dalam karya-karya
Sayyid Hossein Nasr. Dalam hal ini Nasr mengkritik epistemologi yang ada di
Barat (sains moderen) dan menampilkan epistemologi prespektif sufi.
Di dalam kehendak pencipta selalu tewujud Pemenuhan
karena pemestian hanya berlaku pada nilai Elemental atau utiliter, pemenuhan
kemerdekaan berlaku pada nilai-nilai normal dan bila kita kaitkan dengan Barat
maka nilai-nilai ini banyak diabaikan oleh Barat.[9]
C.
Politik
Pemikiran
AI-Faruqi yang menarik untuk dikaji dalam bidang politik pertama adalah idenya
mengenai negara dan Islami dan yang kedua sikapnya terhadap zionis Israel.
C.
KESIMPULAN
Dari kedua pemikiran sebagaimana disebutkan diatas setidaknya dapat kita
pahami bahwa masing masing tokoh memang tidak dapat terlepaskan dari pemikiran
kalam dimasa lalu. Ismail Al-Faruqi misalnya pemikirannya lebih cenderung
kepada pemikiran Ahlusunnah wal Jamaah atau al Maturidiyah yang dibangun oleh
al Imam Asy’ari dan al Maturdi. Demikian juga dengan Harun Nasution yang
pemikirannya lebih cenderung kepada pemikiran Muktazilah dan Qadariyah yang
lebih menekankan peranan akal dalam menghadapi realita takdir atau nasib dalam
kehidupan di dunia ini
DAFTAR PUSTAKA
Al-Furuqi, op.cit, hlm.34
Al-Faruqi,
Tauhid: Its Implementations for thought and life. Wynccote USA: The
International
Institute of Islamic Thought, 1982, hlm.17
Disadur dari
Lamya Al-Faruqi, Allah, Masa Depan Kaum Wanita, terj.Masyhur
Abadi,
Al-fikr, surabaya, 1991, hal. Vii-x.
Harun
Nasution, Teologi islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan,UI Press,
Jakarta, 1983, hlm. 56.
Harun Nasution,
Akal dan Wahyu dalam islam, UI Press, jakarta, 1980, hlm, 101.
Mansyur
Faqih, “Mencari Teologi Tertindas (Khidmat dan kritik untuk Guruku Prof.
Harun Nasution”, dalam Suminto, op. Cit, hlm 167.
Nasution,
Akal....op. cit., hlm. 101-102.
Panjiman, No.504
Edisi MEI 1986
Zaim
Uchrowi, 70 Tahun Harun Nasution, lembaga Studi Agama dan Filsafat, Jakarta,
1989.
[2] Harun Nasution, Teologi islam: Aliran-aliran
Sejarah Analisa Perbandingan,UI Press, Jakarta, 1983, hlm. 56.
[4] Mansyur Faqih, “Mencari Teologi Tertindas (Khidmat
dan kritik untuk Guruku Prof. Harun
Nasution”, dalam Suminto, op. Cit,
hlm 167.
[6] Disadur dari Lamya Al-Faruqi, Allah, Masa Depan
Kaum Wanita, terj.Masyhur Abadi, Al-fikr, surabaya, 1991, hal. Vii-x.
[7]
Panjiman, No.504 Edisi MEI 1986
[8]
Al-Faruqi, Tauhid: Its Implementations for thought and life. Wynccote
USA: The
International Institute of Islamic
Thought, 1982, hlm.17
Tidak ada komentar:
Posting Komentar