Rabu, 22 Mei 2013

Pemikiran Ekonomi Ibnu Taimiyah



BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Islam adalah agama yang selain bersifat syumuliyah (sempurna) juga harakiyah (dinamis). Disebut sempurna karena Islam merupakan agama penyempurna dari agama-agama sebelumnya dan syari’atnya mengatur seluruh aspek kehidupan, baik yang bersifat aqidah maupun muamalah. Dalam kaidah tentang muamalah, Islam mengatur segala bentuk perilaku manusia dalam berhubungan dengan sesamanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya di dunia. Termasuk di dalamnya adalah kaidah Islam yang mengatur tentang pasar dan mekanismenya.
Pasar adalah tempat dimana antara penjual dan pembeli bertemu dan melakukan transaksi jual beli barang dan atau jasa. Pentingnya pasar dalam Islam tidak terlepas dari fungsi pasar sebagai wadah bagi berlangsungnya kegiatan jual beli. Jual beli sendiri memiliki fungsi penting mengingat, jual beli merupakan salah satu aktifitas perekonomian yang “terakreditasi” dalam Islam. Attensi Islam terhadap jual beli sebagai salah satu sendi perekonomian dapat dilihat dalam surat Al Baqarah 275 bahwa Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Pentingnya pasar sebagai wadah aktifitas tempat jual beli tidak hanya dilihat dari fungsinya secara fisik, namun aturan, norma dan yang terkait dengan masalah pasar. Dengan fungsi di atas, pasar jadi rentan dengan sejumlah kecurangan dan juga perbuatan ketidakadilan yang menzalimi pihak lain. Karena peran pasar penting dan juga rentan dengan hal-hal yang dzalim, maka pasar tidak terlepas dengan sejumlah aturan syariat, yang antara lain terkait dengan pembentukan harga dan terjadinya transaksi di pasar. Dalam istilah lain dapat disebut sebagai mekanisme pasar menurut Islam dan intervensi pemerintah dalam pengendalian harga. Melihat pentingnya pasar dalam Islam bahkan menjadi kegiatan yang terakreditasi serta berbagai problem yang terjadi seputar berjalannya mekanisme pasar dan pengendalian harga, maka pembahasan tentang tema ini menjadi sangat menarik dan urgen.


BAB II
PEMBAHASAN
Pemikiran Ekonomi Ibnu Taimiyah (1263 M/661 H – 1328 M/728 H)

A.    Riwayat Hidup
Ibnu Taimiyah yang bernama lengkap Taqiyuddin Ahmad bin Abdul Halim lahir di kota Harran pada tanggal 22 Januari 1263 M (10 Rabiul Awwal 661 H). Ia berasal dari keluarga yang berpendidikan tinggi. Ayah, paman dan kakeknya merupakan ulama besar Mazhab Hanbali dan penulis sejumlah buku. Ia juga sangat cerdas dan jenius,sehingga mampu menamatkan sejumlah mata pelajaran diusia sangat muda.[1]
B.     Pemikiran Ibnu Taimiyah
Pemikiran Ibnu Taimiyah banya diambil dari berbagai karya tulisnya, antara lain Majmu’Fatwa Syaikh al-Islam, as-Siyasah asy-Syar’iyyah fil Islhlah ar-Ra’I wa ar-Ra’iyah dsan al-Hisbah fi al-Islam. Pemikiran Ibnu Taimiyah diantara lain;
Ø  Harga yang Adil, Mekanisme Pasar, dan Regulasi Harga
1)      Harga yang Adil
Adalah suatu hal yang wajar jika keadilan harus diwujudkan dalam aktivitas pasar, khususnya masalah harga. begitu juga dengan konsep upah yang adil, dimaksudkan sebagai tingkat upah yang wajib diberikan kepada para pekerja sehingga mereka dapat hidup layak ditengah-tengah masyarakat.
Kemudian Ibnu taimiyah berpendapat, bahwa para pedagang berhak memperoleh keuntungan melalui cara-cara yang dapat diterima secara umum tanpa merusak kepentingan dirinya sendiri dan kepentingan para pelanggan.
Tujuan utama dari harga yang adil untuk  menegakkan keadilan alam transaksi pertukaran dan hubungan lainnya dimasyarakat.
Dalam pandanga Ibnu taimiyah, adil bagi para pedagang berarti barang-barang dagangan mereka tidak dipaksa untuk dijual pada tingkat harga yang dapat mnghilangkan keuntungan normal mereka.
2)      Mekanisme Pasar
Ibnu Taimiyah memiliki gagasan yang jelas tentang harga-harga di pasar bebas yang ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran. Dia mengatakan:
"Naik, turunya harga tidak selalu terjadi karena ketidakadilan (zulm) dari beberapa orang. Kadang-kadang terjadi karena kekurangan produksi atau penurunan Impor barang yang diminta. Dengan demikian jika keinginan pembelian barang mengalami peningkatkan sedang ketersediaan barang merosot, maka harga akan naik. Di sisi lain jika ketersediaan barang bertambah sedang permintaan turun, maka harga akan turun. Kelangkaan atau kelimpahan ini mungkin tidak disebabkan oleh tindakan dari beberapa orang, yang mungkin karena suatu alasan berlaku tidak adil,atau kadang-kadang, mungkin ada yang menyebabkan hal yang mengundang ketidakadilan. Allah-lah yang Maha Kuasa yang menciptakan keinginan dalam hati *manusia ..."
Dari pernyataan Ibnu Taimiyah tersebut nampaknya berlaku satu pendapat pada masanya bahwa kenaikan harga sebagai akibat dari ketidakadilan atau penyimpangan yang di lakukan di sisi penjual. Atau dikenal dengan Istilah 'zulm' yang berarti pelanggaran atau ketidakadilan. Istilah tersebut digunakan dalam arti manipulasi oleh penjual yang mengarah pada ketidaksempuraan harga di pasar, seperti penimbunan. Menurut Ibnu Taimiyah hal ini tidaklah selalu benar. Dia menyatakan alasan ekonomi untuk naik dan turunya harga berasal dari kekuatan pasar.  
Adapun faktor lain yang mempengaruhi penawaran dan permintaan antara lain adalah intensitas dan besarnya permintaan, kelangkaan atau melimpahnya barang, kondisi kepercayaan serta diskonto dari pembayaran tunai. Permintaan terhadap barang acapkali berubah-ubah. Perubahan tersebut bergantung pada jumlah penawaran, jumlah orang yang menginginkannya, kuat lemahnya dan besar kecilnya kebutuhan terhadap barang tersebut. Bila intensitas kebutuhan sebagaimana kepentingan relatif barang terhadap total kebutuhan pembeli. Bila kebutuhan kuat dan besar, harga akan naik. Demikian pula sebaliknya
           
Ciri-ciri penting pendekatan islam dalam mekanisme pasar adalah sebagai berikut:
1.      Penyelesaian masalah ekonomi yang asasi –penggunaan, produksi dan pembagian- dikenal pasti sebagai sebagai tujuan mekanisme pasar.
2.      Dengan berpedoman pada ajran islam, para konsumen diharapkan bertingkah laku yang sesuai yang menjadikan mekanisme pasar dapat mencapai tujuan yang dinyatakan di atas;
3.      Jika perlu, campur tangan negara dianggap sebagai unsur penting yang memperbanyak atau menggantikan mekanisme pasar, untuk memastikan agar tujuan ini benar-benar tercapai
Ibnu Taimiyah menyebut dua sumber penawaran yakni - produksi lokal dan impor barang (ma yukhlaq aw yujlab min dhali'k al mal al matlub). `al matlub ' berasal dari kata “tholaba” yang merupakan sinonim dari kata `demand 'dalam bahasa Inggris. Untuk mengekspresikan permintaan barang dia menggunakan frase `raghabat fi'l Shai ', permintaan akan barang. Keinginan yang mencerminkan kebutuhan atau `selera 'adalah salah satu hal penting dalam menentukan permintaan, begitu pula dengan pendapatan. Namun faktor kedua ini tidak disebutkan oleh Ibnu Taimiyah. 
Perubahan penawaran, kekuatan pasar selain permintaan, dijelaskan sebagai akibat dari peningkatan atau penurunan ketersediaan barang. Sebagaimana dia telah mencatat dua sumber penawaran yakni: produksi lokal dan impor. Pernyataan sebelumnya menunjukkan bahwa pendapat Ibnu Taimiyah tersebut merujuk pada apa yang disebut sebagai pergeseran permintaan dan fungsi penawaran, walaupu dia tidak menyatakan langsung seperti itu, peningkatan permintaan dilakukan pada harga yang sama dan sedikit penawaran dilakukan pada harga yang sama pula atau sebaliknya, pengurangan permintaan dan peningkatan penawaran pada harga yang sama. Menyebabkan penurunan harga barang. Ia menggabungkan dua perubahan tersebut dalam satu akibat (peningkatan/penurunan harga). Tidak diragukan, jika terjadi penurunan penawaran yang dibarengi dengan peningkatan permintaan, akan mengakibatkan meningkatnya harga. Demikian pula, jika peningkatan penawaran dikaitkan dengan penurunan permintaan, maka harga akan turun secara lebih besar, karena kedua  perubahan tersebut membantu pergerakan harga dalam arah yang sama. Namun demikian, tidak perlu menggabungkan perubahan keduanya atau untuk menemukan fenomena tersebut secara berkesinambungan. Cetris paribus, kita dapat memperoleh  hasil yang sama jika hanya salah satunya mengalami perubahan. Misalnya, jika permintaan menurun sementara penawaran tetap sama, maka harga akan turun begitu pula sebaliknya. Kemungkinan-kemungkinan tersebut bisa dibayangkan, yang nampaknya sesuai dengan pernyataan Ibnu Taimiyah di atas. Dalam bukunya Al Hisbah fi'l Islam, Ibnu Taimiyah menjelaskan perubahan-perubahahan tersebut secara terpisah dapat dinyatakan:
"Jika seseorang menjual barang sesuai dengan cara pada umumnya diterima tanpa ketidakadilan sedang harga meningkat akibat penurunan komoditi (qillat al Shai ') atau disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk (kathrat al Khalq), maka ini adalah kehandak Allah "
Di sini ia memberikan alasan tentang kenaikan harga sebagai akibat dari penurunan komoditi, atau peningkatan populasi penduduk. "Penurunan komoditi", dapat diterjemahkan dengan tepat sebagai penurunan penawaran. Demikian pula, peningkatan populasi menyebabkan peningkatan permintaan di pasar, sehingga dapat dijelaskan sebagai peningkatan permintaan. Peningkatan harga akibat penurunan penawaran atau karena adanya peningkatan permintaan dikarakteristikan sebagai tindakan Tuhan, sebagai pengatur mekanisme pasar murni.
 Dalam petikan sebelumnya Ibn Taimiyah membedakan antara peningkatan harga yang disebabkan oleh kekuatan-kekuatan pasar dan yang disebabkan oleh ketidakadilan, misalnya penimbunan – sebuah perbedaan harga yang di bentuk oleh kebijakan pemerintah yang berwenang. Ibnu Taimiyah adalah pendukung kuat pengendalian harga dalam kasus ketidaksempurnaan di pasar, tetapi dia menentang pengendalian jika kenaikan harga disebabkan oleh kekuatan-kekuatan pasar murni, yakni permintaan dan penawaran. Perlu dicatat disini bahwa dalam teks yang dikutip di atas, Ibnu Taimiyah menganalisa efek perubahan permintaan dan penawaran terhadap harga namun dia tidak mencatat efek tinggi atau rendahnya harga pada barang yang diminta dan ditawarkan (pergerakan sepanjang kurva yang sama dari satu titik ketitik lainnya). Di satu bahasan di `al Hisbah 'ia menjelaskan dengan persetujuan pandangan dari Abul Walid (l013-l081 TM-403-474AH) " pengaturan administratif terhadap harga yang terlalu rendah tidak dapat menghasilkan keuntungan sehingga menyebabkan korupsi terahadap harga, menyembunyikan barang (oleh penjual) serta perusakan kesejahteraan masyarakat". Kesadaran akan kurangya penawaran menyebabkan harga akan jatuh terlalu rendah, oleh sebab itu hal ini membawa Ibnu Taimiyah sangat dekat dengan analisis yang mengindikasikan hubungan langsung antara kuantitas barang tersedia dengan harga.[2]
3)      Regulasi Harga
Ibnu Taimiyah membedakan dua jenis penetapan harga, yakni penetapan harga yang tidak adil dan cacat hukum serta penetapan harga yang adil dan sah menurut hukum. Penetapan harga yang tidakadil seprti penetapan harga yang dilakukan pada saatkenaikan harga-harga terjadi akibat persaingan pasar bebas, yakni kelangkaan supply atau kenaikan demand.
Namun, ketika dalam keadaan darurat seperti terjadi bencana kelaparan, Ibnu Taimiyah merekomendasikan kepada pmerintah agar melakukan penetapan harga.[3]
Ø  Uang dan Kebijakan Moneter
1)      Fungsi Uang dan Perdagangan Uang
Dalam hal uang, beliau menyatakan bahwa fungsi utama uang adalah sebagai alat pengukur nilai dan sebagai media untuk memperlancar pertukaran barang. Hal itu sebagaimana yang beliau ungkapan sebagai berikut:
Atsman (harga atau yang dibayarkan sebagai harga, yaitu uang( dimaksudkan sebagai pengukur nilai barang-barang )mi’yar al-amwal( yang dengannya jumlah nilai barang-barang )maqadir al-amwal( dapat diketahui, dan uang tidak pernah dimaksudkan untuk diri mereka sendiri.
Pada kalimat terakhir pernyataannya tersebut )…dan uang tidak pernah dimaksudkan untuk diri mereka sendiri(, sebagaimana yang diungkapkan juga oleh Al-Ghazali, menunjukkan bahwa beliau menentang bentuk perdagangan uang untuk mendapatkan keuntungan. Perdagangan uang berarti menjadikan uang sebagai komoditas yang dapat diperdagangkan, dan ini akan mengalihkan fungsi uang dari tujuan yang sebenarnya. Terdapat sejumlah alasan mengapa uang dalam Islam dianggap sebagai alat untuk melakukan transaksi, bukan diperlakukan sebagai komoditas, {1}uang tidak mempunyai kepuasan intrinsik  yang dapat memuaskan kebutuhan dan keinginan manusia secara langsung. Uang harus digunakan untuk membeli barang dan jasa yang memuaskan kebutuhan. Sedangkan komoditi mempunyai kepuasan intrinsik, seperti rumah untuk ditempati, mobil untuk dikendarai. Oleh karena itu uang tidak boleh diperdagangkan dalam Islam, {2} komoditas mempunyai kualitas yang berbeda-beda, sementara uang tidak. Contohnya uang dengan nominal Rp100.000,00 yang kertasnya kumal nilainya sama dengan kertas yang bersih. Hal itu berbeda dengan harga mobil baru dan mobil bekas meskipun model dan tahun pembuatannya sama, dan {3} komoditas akan menyertai secara fisik dalam transaksi jual beli. Misalnya kita akan memilih sepeda motor tertentu yang dijual di showroom.   
Sementara uang tidak mempunyai identitas khusus, kita dapat membeli mobil tersebut secara tunai maupun cek. Penjual tidak akan menanyakan bentuk uangnya seperti apa. Islam menempatkan fungsi uang semata-mata sebagai alat tukar dan bukan sebagai komoditi, sehingga tidak layak untuk diperdagangkan apalagi mengandung unsur ketidakpastian atau spekulasi, sehingga yang ada adalah bukan harga uang apalagi dikaitkan dengan berlalunya waktu tetapi nilai uang untuk ditukar dengan barang.
2)      Pencetakan Uang sebagai Alat Tukar Resmi
Ibnu Taimiyah hidup pada zaman pemerintahan Bani Mamluk. Pada saat itu harga-harga barang ditetapkan dalam Dirham, yaitu mata uang peninggalan Bani Ayyubi. Karena desakan kebutuhan masyarakat terhadap mata uang dengan pecahan lebih kecil, maka Sultan Kamil Ayyubi memperkenalkan mata uang baru yang berasal dari tembaga yang disebut dengan Fulus. Dirham ditetapkan sebagai alat transaksi besar, dan Fulus digunakan untuk transaksi-transaksi dalam nilai kecil. Inilah yang kelak kemudian menginspirasi pemerintahan Sultan Kitbugha dan Sultan Dzahir Barquq untuk mencetak Fulus dalam jumlah sangat besar dengan nilai nominal yang melebihi kandungan tembaganya (intrinsic value(. Akibatnya kondisi perekonomian semakin memburuk, karena nilai mata uang menjadi turun. Berkenaan dengan adanya fenomena penurunan nilai mata uang tersebut, Ibnu Taimiyah berpendapat sebagai berikut :
Penguasa seharusnya mencetak fulus) mata uang selain emas dan perak) sesuai dengan nilai yang adil (proporsional) atas transaksi masyarakat, tanpa menimbulkan kezaliman terhadap mereka.
Dari yang beliau nyatakan tersebut, dapat dipahami bahwa beliau melihat adanya hubungan antara jumlah uang yang beredar di masyarakat, total volume transaksi yang dilakukan, dan tingkat harga produk yang berlaku. Pernyataan dalam kalimat pertama (penguasa seharusnya mencetak Fulus sesuai dengan nilai yang adil (proporsional (atas transaksi masyarakat( dimaksudkan untuk menjaga harga agar tetap stabil. Menurutnya, nilai intrinsik mata uang harus sesuai dengan daya beli masyarakat di pasar sehingga tidak seorang pun, termasuk pemerintah dapat mengambil untung dengan melebur uang dan menjualnya dalam bentuk logam lantakan, atau mengubah logam tersebut menjadi koin dan memasukkannya dalam peredaran mata uang, karena sifat-sifat alamiah uang yang termasuk kategori token money, semakin sulit bagi pemerintah untuk menjaga nilai uang. Yang dapat dilakukan pemerintah adalah tidak mencetak uang selama tidak ada kenaikan daya serap sektor riil terhadap uang yang dicetak tersebut.
3)      Implikasi Penerapan Lebih dari Satu Standar Mata Uang
Setelah sadar akan kesalahan yang dilakukannya, Sultan Kitbugha menetapkan bahwa nilai Fulus ditentukan berdasarkan beratnya, dan bukan berdasarkan nilai nominalnya. Namun pencetakan Fulus dalam jumlah besar masih dilakukan oleh Sultan Dzahir Barquq dengan mengimpor tembaga dari negara-negara Eropa. Untuk mendapatkan tembaga saat itu memang sangat mudah dan murah. Di tengah penggunaan Fulus secara luas pada masyarakat, pada saat yang bersamaan penggunaan Dirham semakin sedikit dalam kegiatan transaksi. Dirham semakin menghilang dari peredaran dan inflasi semakin melambung yang ditandai dengan semakin meningkatnya harga-harga produk. Dampak pemberlakuan Fulus sebagai mata uang resmi adalah terjadinya kelaparan sebagai akibat inflasi keuangan yang mendorong naiknya harga.
Persoalan kelaparan ini diungkapkan Al-Maqrizi dalam kitabnya Ightsatul Ummah bi Kayfi Al-Ghummah sebagai berikut :
Ketahuilah, semoga Allah memberi taufiq kepadamu untuk mendengarkan kebenaran dan memberi ilham kepadamu nasehat makhluk, bahwa sudah jelas seperti yang telah lewat, rusaknya perkara adalah karena perncanaan yang buruk bukan karena naiknya harga-harga. Jikalau mereka yang dibebankan oleh Allah untuk mengatur perkara hamba mendapat taufiq lalu mengembalikan interaksi ekonomi kepada bentuk sebelumnya menggunakan emas saja dan mengembalikan harga-harga barang dan nilai pembayaran kepada dinar atau kepada apa yang terjadi setelah itu, yakni transaksi menggunakan perak yang dicetak, maka pada keadaan yang demikianlah pertolongan kepada umat, perbaikan persoalan-persoalan, dan kesadaran terhadap kerusakan yang sudah mencapai tahap kehancuran ini. Lebih jelas dari itu bahwa mata uang apabila dikembalikan pada bentuknya yang semula, dan orang yang mendapatkan uang dari pajak bumi, atau sewa bangunan, atau pegawai pemerintahan, atau pembayaran jasa, dia mendapatkannya dalam bentuk emas atau perak sesuai dengan apa dilihat oleh mereka yang mengurus persoalan public. Pada saat sekarang dengan beragamnya kondisi apabila diberlakukan emas dan perak, tentunya semua transaksi tidak ditemukan lagi penipuan sama sekali, karena semua harga yang berlaku diukur berdasarkan emas dan perak. Namun ada beberapa sebab yang menjadi harga menjdi naik, yaitu, pertama, rusknya cara pandang orang yang ditugaskan untuk memikirkan hal itu dan kebodohannya dalam mengatur persoalan. Ini penyebab utama kebanyakannya. Kedua, musibah yang menimpa sesuatu sehingga persediaan menjadi sedikit seperti yang terjadi pada daging sapi yang tertimpa kematian missal pada tahun 808, dan yang terjadi pada gula karena kurangnya tebu dan perasannya pada tahun 807 dan 808. dan ini hanya penyebab kecil dibandingkan sebab pertama.
Selanjutnya, Dirham juga mengalami perubahan komposisi kandungan pada zaman pemerintahan Nasir. Satu Dirham yang semula mengandung 2/3 perak dan 1/3 tembaga, sekarang menjadi terdiri atas 1/3 perak dan 2/3 tembaga. Pada saat pemerintahan di bawah cucu Nasir, yaitu Nasir Hasan (1358 M (pemerintah menetapkan keputusan bahwa Fulus yang sedang beredar di masyarakat dinyatakan tidak berlaku lagi, dan pemerintah mengeluarkan mata uang baru sebagai penggantinya. Merespon berbagai kebijakan uang yang dilakukan oleh penguasa pada saat itu, Ibnu Taimiyah menyatakan :
Apabila penguasa membatalkan penggunaan mata uang tertentu dan mencetak jenis mata uang yang lain bagi masyarakat, hal ini akan merugikan orang-orang kaya yang memiliki uang karena jatuhnya nilai mata uang lama menjadi hanya sebuah barang. Ia berarti telah melakukan kezaliman karena menghilangkan nilai tinggi yang semula mereka miliki.
Beliau menyarankan agar penguasa tidak membatalkan masa berlaku suatu mata uang yang sedang berada di tangan masyarakat. Ketika pemerintah menyatakan tidak berlaku lagi atas mata yang dipegang masyarakat, yang berarti uang diperlakukan sebagai barang biasa yang tidak mempunyai nilai yang sama dibandingkan dengan ketika berfungsi sebagai uang, maka masyarakat sangat dirugikan dalam hal ini. Daya beli masyarakat secara langsung akan terpangkas drastis karena terjadi penurunan nilai asetnya dengan adanya kebijakan tersebut.
Menurutnya, penciptaan mata uang dengan nilai nominal yang lebih besar daripada nilai intrinsiknya, dan kemudian menggunakan uang tersebut untuk membeli emas, perak atau benda berharga lainnya dari masyarakat akan menyebabkan terjadinya penurunan nilai mata uang serta akan menyebabkan inflasi serta pemalsuan uang. Beliau menganggap bahwa perdagangan mata uang sebagai bentuk kezaliman terhadap masyarakat dan bertentangan dengan kepentingan umum. Dalam masalah ini Ibnu Taimiyah mengungkapkan :
Lebih daripada itu, apabila nilai intrinsik mata uang tersebut berbeda, hal ini akan menjadi sebuah sumber keuntungan bagi para penjahat untuk mengumpulkan mata uang yang buruk dan menukarkanya dengan mata uang yang baik, dan kemudian mereka akan membawanya ke daerah lain dan menukarkannya dengan mata uang yang buruk di daerah tersebut untuk dibawa kembali ke daerahnya. Dengan demikian, nilai barang-barang masyarakat akan menjadi hancur.
Ibnu Taimiyah menyarankan kepada penguasa agar tidak mempelopori bisnis mata uang dengan cara membeli tembaga serta mencetaknya menjadi uang, dengan kata lain mengambil untung dari hasil mencetak uang (seignorage( Saran beliau cukup beralasan, karena setiap pemerintah butuh uang kemudian dengan seenaknya mencetak uang, apalagi nilai nominal mata uang tersebut lebih kecil daripada nilai intrinsiknya, maka kondisi tersebut akan memicu inflasi yang tinggi. Pada saat inflasi tinggi, ketika jumlah uang beredar berlebihan, sementara pendapatan masyarakat nominal tidak bertambah, maka pendapatan riil masyarakat akan menurun, yang berarti masyarakat menjadi semakin miskin. Sungguh memprihatinkan, dan tidak ada artinya ketika pendapatan penguasa/pemerintah meningkat hasil menikmati keuntungan )selisih antara nilai nominal dan nilai intrinsik mata uang Fulus(, namun di sisi lain pendapatan riil masyarakat secara umum semakin berkurang. Penguasa juga harus mencetak uang sesuai dengan nilai riilnya tanpa bertujuan untuk mencari keuntungan apapun agar kesejahteraan masyarakat tetap terjamin.
Di bagian akhir pernyataan beliau di atas, dinyatakan bahwa uang dengan kualitas buruk akan menyingkirkan uang dengan kualitas baik dari peredaran. Hal itu akibat beredarnya mata uang lebih dari satu jenis pada saat itu dengan nilai kandungan logam mulia yang berbeda. Sebagaimana dinyatakan di atas, bahwa 1 Dirham yang semula mengandung 2/3 perak dan 1/3 tembaga, sekarang menjadi terdiri atas 1/3 perak dan 2/3 tembaga. Masyarakat yang masih memegang Dinar dan Dirham lama termotivasi untuk menukar uangnya tersebut dengan produk-produk dari luar negeri karena akan mendapatkan jumlah produk yang lebih banyak atau lebih menguntungkan. Selanjutnya, makin banyak masyarakat beralih pada penggunaan Fulus sebagai alat transaksi. Akibatnya, peredaran Dinar sangat terbatas, Dirham berfluktuasi, bahkan kadang-kadang menghilang. Sementara Fulus beredar secara luas. Banyaknya Fulus yang beredar akibat meningkatnya kandungan tembaga dalam mata uang Dirham mengakibatkan sistem moneter pada waktu itu tidak stabil. Ungkapan Al-Maqrizi berikut ini akan memperjelas kondisi tersebut :
Ketika pada masa Mahmud bin Ali, penanggung jawab raja Al-Dzahir Barquq—semoga Allah merahmatinya—memperbanyak uang tembaga. Pencetakan uang tembaga terus berlanjut beberapa tahun sedangkan orang asing membawa dirham-dirham yang ada di Mesir ke negeri mereka, dan penduduk negeri meleburnya untuk dimanfaatkan sehingga berkurang dan bahkan hamper punah )habis(dan uang tembaga beredar secara luas sehingga seluruh barang jualan dihitung dengannya.
Dia (Al-Dzahir Barquq( membangun gedung percetakan uang tembaga di Alexandria sehingga uang tembaga semakin banyak di tangan orang-orang dan beredar luas karena itu menjadi mata uang dominan di negeri ini. Dirham semakin berkurang karena dua sebab: pertama, sama sekali tidak dicetak lagi. Kedua, orang-orang melebur dirham untuk dijadikan perhiasan.
Fenomena yang diamati, dianalisis yang kemudian dinyatakan secara tertulis oleh Ibnu Taimiyah di atas dan disempurnakan oleh Al-Maqrizi, ternyata sekitar 1.000 tahun kemudian dengan situasi dan kondisi sedikit berbeda fenomena sejenis terjadi di Amerika (1782-1834)  Pada waktu itu Amerika mempertahankan kurs mata uang emas dan perak sebesar 1 : 15, meskipun nilai mata uang emas di negara-negara Eropa menguat berkisar pada kurs 1 : 15,5 hingga 1 : 16,6. Akibatnya, mata uang emas Amerika mengalir ke Eropa, dan sebaliknya mata uang perak membanjiri Amerika. Fenomena itulah yang diamati oleh Thomas Gresham (1857M(dan dia nyatakan dengan bahasanya bahwa, “uang dengan kualitas rendah menendang ke luar uang berkualitas baik”. Pernyataan itu sangat dimungkinkan terinspirasi pemikiran Ibnu Taimiyah dan Al-Maqrizi mengingat karya kedua pemikir Islam tersebut hingga kini masih dapat dibaca. Namun pernyataan itulah yang kelak di kemudian hari dikenal sebagai Hukum Gresham yang sangat terkenal dan sering dikutip hampir semua buku teks ekonomi konvensional, dan tanpa pernah menyebutkan bahwa Ibnu Taimiyah jauh sebelumnya pernah menyatakan hal serupa.
Lebih jauh beliau menyarankan agar gaji para pegawai hendaknya dibayar dari perbendaharaan negara (baitul mal(Saran beliau tersebut setidaknya dapat dijelaskan sebagai berikut, pembayaran gaji yang diambilkan dari hasil pencetakan mata uang akan menimbulkan kenaikan penawaran uang, sedangkan pembayaran yang berasal dari perbendaharaan negara berarti menggunakan uang yang telah ada dalam peredaran, yang berarti juga dapat menambah harta perbendaharaan negara melalui kharaj dan sumber pendapatan negara lainnya.[4]

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Mekanisme pasar menurut Islam adalah suatu sistem mekanisme pasar yang diatur dalam Konsep Islam dan Konsep Islam memiliki rambu-rambu dan aturan main yang dapat diterapkan dipasar dalam upaya menegakan kepentingan semua pihak, rambu dan aturan tersebut terdapat dalam Al-Quran dan Hadist.
Demikian pemaparan makalah ini semoga dapat menjadi tambahan khazanah pengetahuan kita dan modal pengembangan ekonomi islam terutama dan masalah pasar baik yang bersifat tradisional, modern maupun dalam implementasinya di dalam wilayah pasar modal.



 DAFTAR PUSTAKA

Ir. H.Aiwarman Azwar Karim, S.E., M.B.A., M.A.E.P., Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam,RajawaliPers, Jakarta, 2008.

http://mei-azzahra.com/2011/03/13/konsep-ekonomi-ibnu-taimiyah/          

http://miftahuljuaharifahmi. blogspot.com /2012/05/ pemikiran ekonomi ibnu-taimiyah.html
http://sahlan-safa.blogspot.com/2012/12/pemikiran-ekonomi-ibnu-taimiyah.html



[1] Ir. H.Aiwarman Azwar Karim, S.E., M.B.A., M.A.E.P., Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam,RajawaliPers, Jakarta, 2008.hlm 351
[2] http://sahlan-safa.blogspot.com/2012/12/pemikiran-ekonomi-ibnu-taimiyah.html
[3] Ir. H.Aiwarman Azwar Karim, S.E., M.B.A., M.A.E.P., Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam,RajawaliPers, Jakarta, 2008.hlm 367
[4] http://miftahuljuaharifahmi.blogspot.com/2012/05/pemikiran-ekonomi-ibnu-taimiyah.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar