BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Islam
adalah agama yang selain bersifat syumuliyah (sempurna) juga harakiyah
(dinamis). Disebut sempurna karena Islam merupakan agama penyempurna dari
agama-agama sebelumnya dan syari’atnya mengatur seluruh aspek kehidupan, baik
yang bersifat aqidah maupun muamalah. Dalam kaidah tentang muamalah, Islam
mengatur segala bentuk perilaku manusia dalam berhubungan dengan sesamanya
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya di dunia. Termasuk di dalamnya adalah kaidah
Islam yang mengatur tentang pasar dan mekanismenya.
Pasar
adalah tempat dimana antara penjual dan pembeli bertemu dan melakukan transaksi
jual beli barang dan atau jasa. Pentingnya pasar dalam Islam tidak terlepas
dari fungsi pasar sebagai wadah bagi berlangsungnya kegiatan jual beli. Jual
beli sendiri memiliki fungsi penting mengingat, jual beli merupakan salah satu
aktifitas perekonomian yang “terakreditasi” dalam Islam. Attensi Islam terhadap
jual beli sebagai salah satu sendi perekonomian dapat dilihat dalam surat Al
Baqarah 275 bahwa Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Pentingnya
pasar sebagai wadah aktifitas tempat jual beli tidak hanya dilihat dari
fungsinya secara fisik, namun aturan, norma dan yang terkait dengan masalah
pasar. Dengan fungsi di atas, pasar jadi rentan dengan sejumlah kecurangan dan
juga perbuatan ketidakadilan yang menzalimi pihak lain. Karena peran pasar
penting dan juga rentan dengan hal-hal yang dzalim, maka pasar tidak terlepas
dengan sejumlah aturan syariat, yang antara lain terkait dengan pembentukan
harga dan terjadinya transaksi di pasar.
Dalam istilah lain dapat disebut sebagai mekanisme pasar menurut Islam dan
intervensi pemerintah dalam pengendalian harga. Melihat pentingnya pasar dalam Islam bahkan menjadi kegiatan yang
terakreditasi serta berbagai problem yang terjadi seputar berjalannya mekanisme
pasar dan pengendalian harga, maka pembahasan tentang tema ini menjadi sangat
menarik dan urgen.
BAB II
PEMBAHASAN
Pemikiran
Ekonomi Ibnu Taimiyah (1263 M/661 H – 1328 M/728 H)
A. Riwayat Hidup
Ibnu Taimiyah
yang bernama lengkap Taqiyuddin Ahmad
bin Abdul Halim lahir di kota Harran pada tanggal 22 Januari 1263 M (10 Rabiul
Awwal 661 H). Ia berasal dari keluarga yang berpendidikan tinggi. Ayah, paman
dan kakeknya merupakan ulama besar Mazhab Hanbali dan penulis sejumlah buku. Ia juga
sangat cerdas dan jenius,sehingga mampu menamatkan sejumlah mata pelajaran diusia
sangat muda.[1]
B. Pemikiran Ibnu Taimiyah
Pemikiran Ibnu Taimiyah banya
diambil dari berbagai karya tulisnya, antara lain Majmu’Fatwa Syaikh al-Islam,
as-Siyasah asy-Syar’iyyah fil Islhlah ar-Ra’I wa ar-Ra’iyah dsan al-Hisbah fi
al-Islam. Pemikiran Ibnu Taimiyah diantara lain;
Ø
Harga yang Adil, Mekanisme Pasar,
dan Regulasi Harga
1) Harga yang
Adil
Adalah suatu hal yang wajar jika
keadilan harus diwujudkan dalam aktivitas pasar, khususnya masalah harga.
begitu juga dengan konsep upah yang adil, dimaksudkan sebagai tingkat upah yang
wajib diberikan kepada para pekerja sehingga mereka dapat hidup layak
ditengah-tengah masyarakat.
Kemudian Ibnu taimiyah berpendapat,
bahwa para pedagang berhak memperoleh keuntungan melalui cara-cara yang dapat
diterima secara umum tanpa merusak kepentingan dirinya sendiri dan kepentingan
para pelanggan.
Tujuan utama dari harga yang adil
untuk menegakkan keadilan alam transaksi
pertukaran dan hubungan lainnya dimasyarakat.
Dalam pandanga Ibnu taimiyah, adil
bagi para pedagang berarti barang-barang dagangan mereka tidak dipaksa untuk
dijual pada tingkat harga yang dapat mnghilangkan keuntungan normal mereka.
2) Mekanisme
Pasar
Ibnu Taimiyah memiliki gagasan yang
jelas tentang harga-harga di pasar bebas yang ditentukan oleh kekuatan
permintaan dan penawaran. Dia mengatakan:
"Naik, turunya harga tidak
selalu terjadi karena ketidakadilan (zulm) dari beberapa orang. Kadang-kadang
terjadi karena kekurangan produksi atau penurunan Impor barang yang diminta.
Dengan demikian jika keinginan pembelian barang mengalami peningkatkan sedang
ketersediaan barang merosot, maka harga akan naik. Di sisi lain jika
ketersediaan barang bertambah sedang permintaan turun, maka harga akan turun.
Kelangkaan atau kelimpahan ini mungkin tidak disebabkan oleh tindakan dari
beberapa orang, yang mungkin karena suatu alasan berlaku tidak adil,atau
kadang-kadang, mungkin ada yang menyebabkan hal yang mengundang ketidakadilan.
Allah-lah yang Maha Kuasa yang menciptakan keinginan dalam hati *manusia ..."
Dari pernyataan Ibnu Taimiyah
tersebut nampaknya berlaku satu pendapat pada masanya bahwa kenaikan harga
sebagai akibat dari ketidakadilan atau penyimpangan yang di lakukan di sisi
penjual. Atau dikenal dengan Istilah 'zulm' yang berarti pelanggaran
atau ketidakadilan. Istilah tersebut digunakan dalam arti manipulasi oleh
penjual yang mengarah pada ketidaksempuraan harga di pasar, seperti penimbunan.
Menurut Ibnu Taimiyah hal ini tidaklah selalu benar. Dia menyatakan alasan
ekonomi untuk naik dan turunya harga berasal dari kekuatan pasar.
Adapun faktor
lain yang mempengaruhi penawaran dan permintaan antara lain adalah intensitas
dan besarnya permintaan, kelangkaan atau melimpahnya barang, kondisi
kepercayaan serta diskonto dari pembayaran tunai. Permintaan terhadap barang
acapkali berubah-ubah. Perubahan tersebut bergantung pada jumlah penawaran,
jumlah orang yang menginginkannya, kuat lemahnya dan besar kecilnya kebutuhan
terhadap barang tersebut. Bila intensitas kebutuhan sebagaimana kepentingan
relatif barang terhadap total kebutuhan pembeli. Bila kebutuhan kuat dan besar,
harga akan naik. Demikian pula sebaliknya
Ciri-ciri
penting pendekatan islam dalam mekanisme pasar adalah sebagai berikut:
1. Penyelesaian masalah ekonomi yang
asasi –penggunaan, produksi dan pembagian- dikenal pasti sebagai sebagai tujuan
mekanisme pasar.
2. Dengan berpedoman pada ajran
islam, para konsumen diharapkan bertingkah laku yang sesuai yang menjadikan
mekanisme pasar dapat mencapai tujuan yang dinyatakan di atas;
3. Jika perlu, campur tangan negara
dianggap sebagai unsur penting yang memperbanyak atau menggantikan mekanisme
pasar, untuk memastikan agar tujuan ini benar-benar tercapai
Ibnu Taimiyah menyebut dua sumber
penawaran yakni - produksi lokal dan impor barang (ma yukhlaq aw yujlab min
dhali'k al mal al matlub). `al matlub ' berasal dari kata “tholaba”
yang merupakan sinonim dari kata `demand 'dalam bahasa Inggris. Untuk
mengekspresikan permintaan barang dia menggunakan frase `raghabat fi'l Shai ',
permintaan akan barang. Keinginan yang mencerminkan kebutuhan atau `selera
'adalah salah satu hal penting dalam menentukan permintaan, begitu pula dengan
pendapatan. Namun faktor kedua ini tidak disebutkan oleh Ibnu Taimiyah.
Perubahan penawaran, kekuatan pasar
selain permintaan, dijelaskan sebagai akibat dari peningkatan atau penurunan
ketersediaan barang. Sebagaimana dia telah mencatat dua sumber penawaran yakni:
produksi lokal dan impor. Pernyataan sebelumnya menunjukkan bahwa pendapat Ibnu
Taimiyah tersebut merujuk pada apa yang disebut sebagai pergeseran permintaan
dan fungsi penawaran, walaupu dia tidak menyatakan langsung seperti itu,
peningkatan permintaan dilakukan pada harga yang sama dan sedikit penawaran
dilakukan pada harga yang sama pula atau sebaliknya, pengurangan permintaan dan
peningkatan penawaran pada harga yang sama. Menyebabkan penurunan harga barang.
Ia menggabungkan dua perubahan tersebut dalam satu akibat
(peningkatan/penurunan harga). Tidak diragukan, jika terjadi penurunan
penawaran yang dibarengi dengan peningkatan permintaan, akan mengakibatkan
meningkatnya harga. Demikian pula, jika peningkatan penawaran dikaitkan dengan
penurunan permintaan, maka harga akan turun secara lebih besar, karena kedua
perubahan tersebut membantu pergerakan harga dalam arah yang sama. Namun
demikian, tidak perlu menggabungkan perubahan keduanya atau untuk menemukan
fenomena tersebut secara berkesinambungan. Cetris paribus, kita dapat
memperoleh hasil yang sama jika hanya salah satunya mengalami perubahan.
Misalnya, jika permintaan menurun sementara penawaran tetap sama, maka harga
akan turun begitu pula sebaliknya. Kemungkinan-kemungkinan tersebut bisa
dibayangkan, yang nampaknya sesuai dengan pernyataan Ibnu Taimiyah di atas.
Dalam bukunya Al Hisbah fi'l Islam, Ibnu Taimiyah menjelaskan
perubahan-perubahahan tersebut secara terpisah dapat dinyatakan:
"Jika seseorang menjual barang
sesuai dengan cara pada umumnya diterima tanpa ketidakadilan sedang harga
meningkat akibat penurunan komoditi (qillat al Shai ') atau disebabkan oleh
peningkatan jumlah penduduk (kathrat al Khalq), maka ini adalah kehandak Allah "
Di sini ia memberikan alasan tentang
kenaikan harga sebagai akibat dari penurunan komoditi, atau peningkatan
populasi penduduk. "Penurunan komoditi", dapat diterjemahkan dengan
tepat sebagai penurunan penawaran. Demikian pula, peningkatan populasi
menyebabkan peningkatan permintaan di pasar, sehingga dapat dijelaskan sebagai
peningkatan permintaan. Peningkatan harga akibat penurunan penawaran atau
karena adanya peningkatan permintaan dikarakteristikan sebagai tindakan Tuhan,
sebagai pengatur mekanisme pasar murni.
Dalam petikan sebelumnya Ibn Taimiyah
membedakan antara peningkatan harga yang disebabkan oleh kekuatan-kekuatan
pasar dan yang disebabkan oleh ketidakadilan, misalnya penimbunan – sebuah
perbedaan harga yang di bentuk oleh kebijakan pemerintah yang berwenang. Ibnu
Taimiyah adalah pendukung kuat pengendalian harga dalam kasus ketidaksempurnaan
di pasar, tetapi dia menentang pengendalian jika kenaikan harga disebabkan oleh
kekuatan-kekuatan pasar murni, yakni permintaan dan penawaran. Perlu dicatat
disini bahwa dalam teks yang dikutip di atas, Ibnu Taimiyah menganalisa efek
perubahan permintaan dan penawaran terhadap harga namun dia tidak mencatat efek
tinggi atau rendahnya harga pada barang yang diminta dan ditawarkan (pergerakan
sepanjang kurva yang sama dari satu titik ketitik lainnya). Di satu bahasan di
`al Hisbah 'ia menjelaskan dengan persetujuan pandangan dari Abul Walid
(l013-l081 TM-403-474AH) " pengaturan administratif terhadap harga yang
terlalu rendah tidak dapat menghasilkan keuntungan sehingga menyebabkan korupsi
terahadap harga, menyembunyikan barang (oleh penjual) serta perusakan
kesejahteraan masyarakat". Kesadaran akan kurangya penawaran menyebabkan
harga akan jatuh terlalu rendah, oleh sebab itu hal ini membawa Ibnu Taimiyah
sangat dekat dengan analisis yang mengindikasikan hubungan langsung antara
kuantitas barang tersedia dengan harga.[2]
3)
Regulasi Harga
Ibnu Taimiyah membedakan dua jenis
penetapan harga, yakni penetapan harga yang tidak adil dan cacat hukum serta
penetapan harga yang adil dan sah menurut hukum. Penetapan harga yang tidakadil
seprti penetapan harga yang dilakukan pada saatkenaikan harga-harga terjadi
akibat persaingan pasar bebas, yakni kelangkaan supply atau kenaikan demand.
Namun, ketika dalam keadaan darurat
seperti terjadi bencana kelaparan, Ibnu Taimiyah merekomendasikan kepada
pmerintah agar melakukan penetapan harga.[3]
Ø
Uang dan Kebijakan Moneter
1) Fungsi Uang
dan Perdagangan Uang
Dalam hal uang, beliau
menyatakan bahwa fungsi utama uang adalah sebagai alat pengukur nilai dan
sebagai media untuk memperlancar pertukaran barang. Hal itu sebagaimana yang beliau ungkapan
sebagai berikut:
Atsman (harga atau yang
dibayarkan sebagai harga, yaitu uang( dimaksudkan sebagai pengukur nilai barang-barang )mi’yar al-amwal( yang
dengannya jumlah nilai barang-barang )maqadir al-amwal( dapat diketahui, dan uang tidak pernah dimaksudkan
untuk diri mereka sendiri.
Pada kalimat terakhir
pernyataannya tersebut )…dan uang
tidak pernah dimaksudkan untuk diri mereka sendiri(, sebagaimana yang diungkapkan juga oleh Al-Ghazali, menunjukkan bahwa
beliau menentang bentuk perdagangan uang untuk mendapatkan keuntungan.
Perdagangan uang berarti menjadikan uang sebagai komoditas yang dapat
diperdagangkan, dan ini akan mengalihkan fungsi uang dari tujuan yang
sebenarnya. Terdapat
sejumlah alasan mengapa uang dalam Islam dianggap sebagai alat untuk melakukan
transaksi, bukan diperlakukan sebagai komoditas, {1}uang tidak mempunyai
kepuasan intrinsik yang dapat memuaskan kebutuhan dan
keinginan manusia secara langsung. Uang harus digunakan untuk membeli barang dan jasa yang
memuaskan kebutuhan.
Sedangkan komoditi mempunyai kepuasan intrinsik, seperti rumah untuk
ditempati, mobil untuk dikendarai. Oleh karena itu uang tidak boleh diperdagangkan dalam
Islam, {2} komoditas mempunyai kualitas yang berbeda-beda, sementara uang tidak.
Contohnya uang dengan nominal Rp100.000,00 yang kertasnya kumal
nilainya sama dengan kertas yang bersih. Hal itu berbeda dengan harga mobil baru dan mobil bekas
meskipun model dan tahun pembuatannya sama, dan {3} komoditas akan menyertai secara fisik
dalam transaksi jual beli.
Misalnya kita akan memilih sepeda motor tertentu yang dijual di
showroom.
Sementara uang tidak
mempunyai identitas khusus, kita dapat membeli mobil tersebut secara tunai
maupun cek. Penjual
tidak akan menanyakan bentuk uangnya seperti apa. Islam menempatkan fungsi uang
semata-mata
sebagai alat tukar dan bukan sebagai komoditi, sehingga tidak layak untuk
diperdagangkan apalagi mengandung unsur ketidakpastian atau spekulasi, sehingga
yang ada adalah bukan harga uang apalagi dikaitkan dengan berlalunya waktu
tetapi nilai uang untuk ditukar dengan barang.
2) Pencetakan Uang sebagai Alat Tukar Resmi
Ibnu Taimiyah hidup
pada zaman pemerintahan Bani Mamluk. Pada saat itu harga-harga barang ditetapkan dalam
Dirham, yaitu mata uang peninggalan Bani Ayyubi. Karena desakan kebutuhan masyarakat
terhadap mata uang dengan pecahan lebih kecil, maka Sultan Kamil Ayyubi
memperkenalkan mata uang baru yang berasal dari tembaga yang disebut dengan
Fulus. Dirham ditetapkan sebagai alat transaksi besar, dan Fulus digunakan
untuk transaksi-transaksi
dalam nilai kecil.
Inilah yang kelak kemudian menginspirasi pemerintahan Sultan Kitbugha
dan Sultan Dzahir Barquq untuk mencetak Fulus dalam jumlah sangat besar dengan
nilai nominal yang melebihi kandungan tembaganya (intrinsic value(. Akibatnya kondisi perekonomian semakin memburuk, karena nilai
mata uang menjadi turun. Berkenaan dengan adanya fenomena penurunan nilai mata
uang tersebut, Ibnu Taimiyah berpendapat sebagai berikut :
Penguasa seharusnya
mencetak fulus)
mata uang selain emas dan perak) sesuai dengan nilai yang adil
(proporsional) atas transaksi masyarakat, tanpa menimbulkan kezaliman terhadap
mereka.
Dari yang beliau
nyatakan tersebut, dapat dipahami bahwa beliau melihat adanya hubungan antara
jumlah uang yang beredar di masyarakat, total volume transaksi yang dilakukan,
dan tingkat harga produk yang berlaku. Pernyataan dalam kalimat pertama (penguasa
seharusnya mencetak Fulus sesuai dengan nilai yang adil (proporsional (atas
transaksi masyarakat( dimaksudkan untuk menjaga harga agar tetap stabil. Menurutnya,
nilai intrinsik mata uang harus sesuai dengan daya beli masyarakat di pasar
sehingga tidak seorang pun, termasuk pemerintah dapat mengambil untung dengan
melebur uang dan menjualnya dalam bentuk logam lantakan, atau mengubah logam
tersebut menjadi koin dan memasukkannya dalam peredaran mata uang, karena sifat-sifat
alamiah uang yang termasuk kategori token money, semakin sulit bagi pemerintah
untuk menjaga nilai uang. Yang dapat dilakukan pemerintah adalah tidak mencetak
uang selama tidak ada kenaikan daya serap sektor riil terhadap uang yang
dicetak tersebut.
3) Implikasi Penerapan Lebih dari Satu Standar Mata Uang
Setelah sadar akan
kesalahan yang dilakukannya, Sultan Kitbugha menetapkan bahwa nilai Fulus
ditentukan berdasarkan beratnya, dan bukan berdasarkan nilai nominalnya. Namun
pencetakan Fulus dalam jumlah besar masih dilakukan oleh Sultan Dzahir Barquq
dengan mengimpor tembaga dari negara-negara Eropa. Untuk mendapatkan tembaga saat
itu memang sangat mudah dan murah. Di tengah penggunaan Fulus secara luas pada masyarakat,
pada saat yang bersamaan penggunaan Dirham semakin sedikit dalam kegiatan
transaksi. Dirham
semakin menghilang dari peredaran dan inflasi semakin melambung yang ditandai
dengan semakin meningkatnya harga-harga produk. Dampak pemberlakuan Fulus sebagai mata
uang resmi adalah terjadinya kelaparan sebagai akibat inflasi keuangan yang
mendorong naiknya harga.
Persoalan kelaparan ini
diungkapkan Al-Maqrizi
dalam kitabnya Ightsatul Ummah bi Kayfi Al-Ghummah sebagai berikut :
Ketahuilah, semoga
Allah memberi taufiq kepadamu untuk mendengarkan kebenaran dan memberi ilham
kepadamu nasehat makhluk, bahwa sudah jelas seperti yang telah lewat, rusaknya
perkara adalah karena perncanaan yang buruk bukan karena naiknya harga-harga. Jikalau
mereka yang dibebankan oleh Allah untuk mengatur perkara hamba mendapat taufiq
lalu mengembalikan interaksi ekonomi kepada bentuk sebelumnya menggunakan emas
saja dan mengembalikan harga-harga barang dan nilai pembayaran kepada dinar atau
kepada apa yang terjadi setelah itu, yakni transaksi menggunakan perak yang
dicetak, maka pada keadaan yang demikianlah pertolongan kepada umat, perbaikan
persoalan-persoalan,
dan kesadaran terhadap kerusakan yang sudah mencapai tahap kehancuran ini. Lebih
jelas dari itu bahwa mata uang apabila dikembalikan pada bentuknya yang semula,
dan orang yang mendapatkan uang dari pajak bumi, atau sewa bangunan, atau
pegawai pemerintahan, atau pembayaran jasa, dia mendapatkannya dalam bentuk
emas atau perak sesuai dengan apa dilihat oleh mereka yang mengurus persoalan
public. Pada
saat sekarang dengan beragamnya kondisi apabila diberlakukan emas dan perak,
tentunya semua transaksi tidak ditemukan lagi penipuan sama sekali, karena
semua harga yang berlaku diukur berdasarkan emas dan perak. Namun ada beberapa sebab yang
menjadi harga menjdi naik, yaitu, pertama, rusknya cara pandang orang yang
ditugaskan untuk memikirkan hal itu dan kebodohannya dalam mengatur persoalan. Ini
penyebab utama kebanyakannya. Kedua, musibah yang menimpa sesuatu sehingga persediaan
menjadi sedikit seperti yang terjadi pada daging sapi yang tertimpa kematian missal
pada tahun 808, dan yang terjadi pada gula karena kurangnya tebu dan perasannya
pada tahun 807 dan 808. dan ini hanya penyebab kecil dibandingkan sebab pertama.
Selanjutnya, Dirham juga mengalami perubahan komposisi kandungan pada zaman
pemerintahan Nasir.
Satu Dirham yang semula mengandung 2/3 perak dan 1/3 tembaga,
sekarang menjadi terdiri atas 1/3 perak dan 2/3 tembaga. Pada saat pemerintahan di
bawah cucu Nasir, yaitu Nasir Hasan (1358 M (pemerintah menetapkan
keputusan bahwa Fulus yang sedang beredar di masyarakat dinyatakan tidak
berlaku lagi, dan pemerintah mengeluarkan mata uang baru sebagai penggantinya. Merespon
berbagai kebijakan uang yang dilakukan oleh penguasa pada saat itu, Ibnu
Taimiyah menyatakan :
Apabila penguasa
membatalkan penggunaan mata uang tertentu dan mencetak jenis mata uang yang
lain bagi masyarakat, hal ini akan merugikan orang-orang kaya yang memiliki uang
karena jatuhnya nilai mata uang lama menjadi hanya sebuah barang. Ia berarti telah melakukan
kezaliman karena menghilangkan nilai tinggi yang semula mereka miliki.
Beliau menyarankan agar
penguasa tidak membatalkan masa berlaku suatu mata uang yang sedang berada di
tangan masyarakat.
Ketika pemerintah menyatakan tidak berlaku lagi atas mata yang dipegang
masyarakat, yang berarti uang diperlakukan sebagai barang biasa yang tidak
mempunyai nilai yang sama dibandingkan dengan ketika berfungsi sebagai uang,
maka masyarakat sangat dirugikan dalam hal ini. Daya beli masyarakat secara
langsung akan terpangkas drastis karena terjadi penurunan nilai asetnya dengan
adanya kebijakan tersebut.
Menurutnya, penciptaan
mata uang dengan nilai nominal yang lebih besar daripada nilai intrinsiknya,
dan kemudian menggunakan uang tersebut untuk membeli emas, perak atau benda
berharga lainnya dari masyarakat akan menyebabkan terjadinya penurunan nilai
mata uang serta akan menyebabkan inflasi serta pemalsuan uang. Beliau menganggap bahwa
perdagangan mata uang sebagai bentuk kezaliman terhadap masyarakat dan
bertentangan dengan kepentingan umum. Dalam masalah ini Ibnu Taimiyah
mengungkapkan :
Lebih daripada itu,
apabila nilai intrinsik mata uang tersebut berbeda, hal ini akan menjadi sebuah
sumber keuntungan bagi para penjahat untuk mengumpulkan mata uang yang buruk
dan menukarkanya dengan mata uang yang baik, dan kemudian mereka akan
membawanya ke daerah lain dan menukarkannya dengan mata uang yang buruk di
daerah tersebut untuk dibawa kembali ke daerahnya. Dengan demikian, nilai barang-barang
masyarakat akan menjadi hancur.
Ibnu Taimiyah menyarankan
kepada penguasa agar tidak mempelopori bisnis mata uang dengan cara membeli
tembaga serta mencetaknya menjadi uang, dengan kata lain mengambil untung dari
hasil mencetak uang (seignorage( Saran beliau cukup beralasan, karena setiap pemerintah
butuh uang kemudian dengan seenaknya mencetak uang, apalagi nilai nominal mata
uang tersebut lebih kecil daripada nilai intrinsiknya, maka kondisi tersebut
akan memicu inflasi yang tinggi. Pada saat inflasi tinggi, ketika jumlah uang beredar
berlebihan, sementara pendapatan masyarakat nominal tidak bertambah, maka
pendapatan riil masyarakat akan menurun, yang berarti masyarakat menjadi
semakin miskin.
Sungguh memprihatinkan, dan tidak ada artinya ketika pendapatan penguasa/pemerintah
meningkat hasil menikmati keuntungan )selisih antara nilai nominal dan nilai
intrinsik mata uang Fulus(, namun di
sisi lain pendapatan riil masyarakat secara umum semakin berkurang. Penguasa
juga harus mencetak uang sesuai dengan nilai riilnya tanpa bertujuan untuk
mencari keuntungan apapun agar kesejahteraan masyarakat tetap terjamin.
Di bagian akhir
pernyataan beliau di atas, dinyatakan bahwa uang dengan kualitas buruk akan
menyingkirkan uang dengan kualitas baik dari peredaran. Hal itu akibat beredarnya mata
uang lebih dari satu jenis pada saat itu dengan nilai kandungan logam mulia
yang berbeda.
Sebagaimana dinyatakan di atas, bahwa 1 Dirham yang semula mengandung 2/3 perak dan 1/3 tembaga, sekarang menjadi terdiri atas 1/3 perak dan 2/3 tembaga. Masyarakat
yang masih memegang Dinar dan Dirham lama termotivasi untuk menukar uangnya
tersebut dengan produk-produk dari luar negeri karena akan mendapatkan jumlah
produk yang lebih banyak atau lebih menguntungkan. Selanjutnya, makin banyak
masyarakat beralih pada penggunaan Fulus sebagai alat transaksi. Akibatnya, peredaran Dinar
sangat terbatas, Dirham berfluktuasi, bahkan kadang-kadang menghilang. Sementara Fulus beredar secara
luas. Banyaknya
Fulus yang beredar akibat meningkatnya kandungan tembaga dalam mata uang Dirham
mengakibatkan sistem moneter pada waktu itu tidak stabil. Ungkapan Al-Maqrizi berikut ini akan
memperjelas kondisi tersebut :
Ketika pada masa Mahmud
bin Ali, penanggung jawab raja Al-Dzahir Barquq—semoga Allah merahmatinya—memperbanyak
uang tembaga.
Pencetakan uang tembaga terus berlanjut beberapa tahun sedangkan orang
asing membawa dirham-dirham yang ada di Mesir ke negeri mereka, dan penduduk
negeri meleburnya untuk dimanfaatkan sehingga berkurang dan bahkan hamper punah
)habis(dan uang
tembaga beredar secara luas sehingga seluruh barang jualan dihitung dengannya.
Dia (Al-Dzahir Barquq( membangun gedung percetakan
uang tembaga di Alexandria sehingga uang tembaga semakin banyak di tangan orang-orang dan
beredar luas karena itu menjadi mata uang dominan di negeri ini. Dirham semakin berkurang
karena dua sebab:
pertama, sama sekali tidak dicetak lagi. Kedua, orang-orang melebur dirham untuk
dijadikan perhiasan.
Fenomena yang diamati,
dianalisis yang kemudian dinyatakan secara tertulis oleh Ibnu Taimiyah di atas
dan disempurnakan oleh Al-Maqrizi, ternyata sekitar 1.000 tahun kemudian dengan situasi dan kondisi sedikit berbeda
fenomena sejenis terjadi di Amerika (1782-1834) Pada
waktu itu Amerika mempertahankan kurs mata uang emas dan perak sebesar 1 : 15, meskipun nilai mata uang emas di negara-negara
Eropa menguat berkisar pada kurs 1 : 15,5
hingga 1 : 16,6. Akibatnya, mata uang emas Amerika
mengalir ke Eropa, dan sebaliknya mata uang perak membanjiri Amerika. Fenomena
itulah yang diamati oleh Thomas Gresham (1857M(dan dia nyatakan dengan
bahasanya bahwa, “uang dengan kualitas rendah menendang ke luar uang
berkualitas baik”.
Pernyataan itu sangat dimungkinkan terinspirasi pemikiran Ibnu Taimiyah
dan Al-Maqrizi
mengingat karya kedua pemikir Islam tersebut hingga kini masih dapat dibaca. Namun
pernyataan itulah yang kelak di kemudian hari dikenal sebagai Hukum Gresham
yang sangat terkenal dan sering dikutip hampir semua buku teks ekonomi
konvensional, dan tanpa pernah menyebutkan bahwa Ibnu Taimiyah jauh sebelumnya
pernah menyatakan hal serupa.
Lebih jauh beliau
menyarankan agar gaji para pegawai hendaknya dibayar dari perbendaharaan negara
(baitul mal(Saran
beliau tersebut setidaknya dapat dijelaskan sebagai berikut, pembayaran gaji
yang diambilkan dari hasil pencetakan mata uang akan menimbulkan kenaikan
penawaran uang, sedangkan pembayaran yang berasal dari perbendaharaan negara
berarti menggunakan uang yang telah ada dalam peredaran, yang berarti juga
dapat menambah harta perbendaharaan negara melalui kharaj dan sumber pendapatan
negara lainnya.[4]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Mekanisme pasar menurut Islam adalah
suatu sistem mekanisme pasar yang diatur dalam Konsep Islam dan Konsep Islam
memiliki rambu-rambu dan aturan main yang dapat diterapkan dipasar dalam upaya
menegakan kepentingan semua pihak, rambu dan aturan tersebut terdapat dalam
Al-Quran dan Hadist.
Demikian pemaparan makalah ini
semoga dapat menjadi tambahan khazanah pengetahuan kita dan modal pengembangan
ekonomi islam terutama dan masalah pasar baik yang bersifat tradisional, modern
maupun dalam implementasinya di dalam wilayah pasar modal.
DAFTAR PUSTAKA
Ir.
H.Aiwarman Azwar Karim, S.E., M.B.A., M.A.E.P., Sejarah Pemikiran Ekonomi
Islam,RajawaliPers, Jakarta, 2008.
http://mei-azzahra.com/2011/03/13/konsep-ekonomi-ibnu-taimiyah/
http://miftahuljuaharifahmi. blogspot.com /2012/05/
pemikiran ekonomi ibnu-taimiyah.html
http://sahlan-safa.blogspot.com/2012/12/pemikiran-ekonomi-ibnu-taimiyah.html
[1]
Ir. H.Aiwarman Azwar Karim, S.E., M.B.A., M.A.E.P., Sejarah Pemikiran
Ekonomi Islam,RajawaliPers, Jakarta, 2008.hlm 351
[2]
http://sahlan-safa.blogspot.com/2012/12/pemikiran-ekonomi-ibnu-taimiyah.html
[3]
Ir. H.Aiwarman Azwar Karim, S.E., M.B.A., M.A.E.P., Sejarah Pemikiran
Ekonomi Islam,RajawaliPers, Jakarta, 2008.hlm 367
[4]
http://miftahuljuaharifahmi.blogspot.com/2012/05/pemikiran-ekonomi-ibnu-taimiyah.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar